Hari Kasih Sayang dalam Kacamata Islam: Memaknai Cinta yang Sesungguhnya
Dia ternyata satu prodi denganku dan
qodarullahnya kita satu kelas yang sama dikelas PAI B. Selama berjalanya
perkuliahan hingga satu semester menurutku dia orang yang baik, pandai juga,
bacaan Al Qura’anya juga bagus, dia humoris orangnya, dan dia mudah bergaul
dengan siapapun. Sifatnya yang humoris dan kocak itu kadang membuat teman
dikelas tertawa dibuatnya. Tidak dikelas saja di grup whatsapp kelas saja dia
pun juga suka bikin kehebohan.
Karena sering ngobrol-ngobrol, malah kita
jadi berteman baik dan terkadang kalau diantara kita mendapat kesulitan
diusahakan kita saling membantu. Ada suatu ketika dia terlihata nggak kayak
biasanya. Ya walaupun masih bisa hahahihi tapi kebaca dia lagi ada beban
masalah. Dan benar saja, masalah dia memang mengenai biaya hidup dia selama
kuliah ini. Iya aku menyadari, kuliah itu tidak membutuhkan biaya yang kecil.
Dari biaya pendidikan pun sudah besar apalagi kuliah di sekolah swasta ditambah
lagi dengan biaya hidup. Memang kuliah itu tidak mudah.
Dia sering bercerita “aku kadang
kangen sama ibu bapak dirumah, tapi aku nggak berani dan nggak enak kalo pulang
ke rumah. Pasti mereka bakalan mikirin biaya buat aku berangkat lagi. Ya memang
aku pulang juga inginya minta uang saku, tapi apalah daya aku anak seorang
pekebun dilereng yang setiap membawa panen sayuran ke pasar pulang nggak sampe
dapet uang dua ratus ribu”. Dari latar belakang keluarganya dia memang seorang
anak yang sangat sederhana. Ayah ibunya seorang pekebun dilereng sebuah pegunungan
di Banjarnegara. Kadang aku yang mendengar secara langsung cerita dari dia, aku
merasa bahwa segala sesuatu yang kita punya harusalah disyukuri. Dengan kondisi
apa adanya dia, namun semangatnya untuk menimba ilmu tiada surut.
“Yaa.. walaupun aku berasal dari
keluarga yang kurang mampu, tapi aku harus berilmu. Apalagi ilmu agama itu
penting dan aku harus dapetin itu” salah satu pesan darinya yang selalu dia
ucapkan sebagai salah satu penyemangat buat dirinya sendiri. Pastinya aku yang
dengar ucapanya juga ikut tersambar dengan ucapanya itu. Semangat dia demi belajar
dikelas yang paling aku ingat ketika dia tetap berangkat kulaih padahal dia
lagi sakit. Muka dia pucat, suara juga serak, dan mata kelihatan sayu. Sakinya
dia ternyata karena dia tidak makan, alasanya dia nggak punya uang buat beli
makan. Hemm :(
Ada satu kesamaan yang kita punya
yaitu, ketika kita dalam kondisi yang berat dan rasanya sudah tidak sanggup
lagi menanggunya, ada salah satu potongan
ayat Al-Qur’an yang menjadi favorit kita dan membuat semua beban itu
terasa terkurangi yaitu “laa yukalifullahu nafsan illa wus’aha”. Inilah yang
menjadikan kita selalu positif thinking kepada Allah SWT dan diri sendiri
ketika mendapatkan sebuah beban hidup dan masalah yang sedang dihadapi.
Potongan ayat tersebut memang luar
biasa memotivasi diriku. Bahwa segala beban yang ada semua bisa kita atasi dan
lewati. Beban yang Allah SWT timpakan kepada diri kita, pada dasarnya sesuai
dengan kemampuan kita untuk mengangkatnya. Semua kembali lagi pada diri kita
bahwasanya apabila kita mampu dan yakin melewatinya atas pertolongan-Nya, maka
beban hidup tersebut bukanlah sebuah beban. Namun kenikmatan yang mampu dipetik
pelajaranya.
Mungkin bagi kalian kisah di atas
merupakan suatu hal yang biasa. Namun manusia memiliki masalah dan beban hidup
yang diemban dengan kesanggupan yang berbeda-beda. Aku harap kalian mampu
memaknai setiap apa yang menimpa pada diri kalian bukan sebagai beban berat
sehingga tidak mudah untuk putus asa dan mengeluh.
Comments
Post a Comment